SERUMPUN.ID - Beberapa waktu lalu melalui press-rilis bersama media, Purbaya Yudhi Sulistiyanto, Menteri Keuangan, menegaskan bahwa pemerintah berjanji akan membasmi peredaran rokok ilegal. Dalam rilis tersebut, beliau menyampaikan laporan masyarakat dari Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, yang melaporkan maraknya peredaran rokok ilegal yang diduga melibatkan oknum bea cukai dan cukong. Akibatnya, yang ditindak hanya warung-warung kecil yang menjual eceran rokok ilegal demi menyambung hidup, meskipun itu pelanggaran.
Fenomena serupa juga terjadi di Inhil. Seolah rokok ilegal sudah menjadi hal yang biasa. Meski beberapa kali dilakukan penindakan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tembilahan (Bea Cukai Tembilahan), langkah-langkah tersebut belum tampak signifikan menekan peredarannya.
Ketua Bidang Hukum dan HAM, HMI Cabang Tembilahan, Wahyu, menilai fenomena di Karimun mirip terjadi di Inhil. Peredaran rokok ilegal di Inhil juga di dugaan kuat adanya permainan terselubung antara cukong dan oknum aparat terkait.
“Dugaan publik muncul karena pola penindakannya yang tidak menyentuh aktor besar. Yang ditindak justru hanya warung-warung kecil, sementara pemasoknya bebas berkeliaran. Ini memunculkan kecurigaan adanya ‘perselingkuhan’ antara cukong dan oknum terkait,” tegasnya
Data Pengungkapan Rokok Ilegal di Inhil
Berdasarkan catatan publik dan laporan resmi Bea Cukai: 2015–2019: ± 40,9 juta batang rokok ilegal diamankan di wilayah kerja Bea Cukai Tembilahan.
Oktober 2021: ± 788 ribu batang rokok ilegal disita di perairan Sungai Piring.
Januari 2025: 396.430 batang rokok ilegal diamankan di wilayah Inhil, dengan potensi kerugian negara lebih dari Rp300 juta. Juni 2025: Bea Cukai Tembilahan memusnahkan barang ilegal senilai Rp7,6 miliar, termasuk rokok ilegal.
Meski demikian, data tersebut belum mencerminkan penindakan yang menyentuh dalang utama.
“Kita mengapresiasi sosialisasi dan Operasi Gempur Rokok Ilegal oleh Bea Cukai, tetapi langkah ini tidak akan efektif jika mafia rokok ilegal yang bermain di belakang layar tidak disentuh. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kepercayaan publik terhadap institusi terkait akan semakin runtuh.” tambahnya.
Di satu sisi, harga yang lebih murah membuat rokok ilegal dianggap sebagai “solusi alternatif” bagi para perokok di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Namun ironisnya, justru terkesan hanya 'bermain mata' padahal secara regulasi hal itu jelas-jelas melanggar hukum.
Menurut Undang?Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai:
Pasal 54 menyebut: “Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 56 menyebut: “Setiap orang yang menimbun, menyimpan, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang kena cukai yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana berdasarkan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (kali) nilai cukai dan paling banyak 10 (kali) nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Wahyu mendesak Bea Cukai Tembilahan, lebih serius menindak jaringan rokok ilegal di Inhil.
“Kami meminta transparansi, keberanian, dan ketegasan. Jangan sampai mahasiswa dan masyarakat turun mengawal persoalan ini atau melakukan aksi menuntut bersih-bersih dari oknum nakal. Negara tidak boleh kalah dengan mafia.”tutupnya.
