Dialog Kebangsaan yang Ditaja HMI Tembilahan

Zainal Arifin Hussein: Menyatukan Ilmu dan Alam di Tengah Luka Pesisir Indragiri Hilir

Zainal Arifin Hussein: Menyatukan Ilmu dan Alam di Tengah Luka Pesisir Indragiri Hilir

SERUMPUN.ID - Dalam kegiatan Dialog Kebangsaan bertajuk “Transformasi Hijau Indragiri Hilir untuk Pembangunan Berkelanjutan Menuju Generasi Emas” yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tembilahan, Zainal Arifin Hussein, dosen sekaligus aktivis lingkungan, tampil menyampaikan materi tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan kelestarian lingkungan hidup. Namun, lebih dari sekadar paparan akademik, kata-katanya menghadirkan wajah nyata dari luka ekologis yang sedang dialami Indragiri Hilir hari ini.

“Ilmu pengetahuan tanpa cinta pada alam hanyalah kesombongan. Tapi alam tanpa pengetahuan manusia juga bisa kehilangan arah,”

ucapnya mengawali dengan tenang, namun sarat makna.

Zainal menggambarkan kondisi pesisir yang kian memprihatinkan. Di Kuala Selat, pohon-pohon kelapa yang dulu menjadi penopang ekonomi rakyat kini banyak yang tumbang. Tanahnya terkikis, air laut masuk jauh ke daratan, dan mata pencaharian warga perlahan hilang ditelan abrasi.

 “Kelapa yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat pesisir kini menjadi kenangan,” katanya lirih.

Pesantren Ekologi

Namun di tengah kehancuran itu, lahir secercah harapan. Di Desa Belaras Barat, Zainal bersama masyarakat dan para santri membangun Pesantren Ekologis pertama di Riau, tempat di mana ilmu agama, sains, dan alam berpadu. Di sana, anak-anak muda belajar menanam mangrove, memelihara ikan, dan memahami ekosistem pesisir sebagai bagian dari ibadah.

 “Menjaga mangrove adalah bentuk zikir. Setiap akar yang menahan lumpur adalah doa agar bumi tetap hidup,” ujarnya dengan nada sendu.

Pesantren Ekologi Belaras Barat ini diharapkan menjadi pusat pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat pesisir yang memadukan nilai-nilai keislaman dengan kepedulian terhadap lingkungan. Melalui pendidikan agama yang berorientasi pada praktik nyata menjaga alam, pesantren ini diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang religius, mandiri, dan berdaya ekologis, generasi yang tidak hanya memahami ajaran Islam, tetapi juga mengamalkannya dalam upaya melestarikan laut, mangrove, dan sumber daya alam sebagai amanah Allah SWT.

Kisah Nyata di Dusun Sungai Bandung, Desa Tanjung Pasir

Zainal kemudian menuturkan kisah nyata dari Dusun Sei. Bandung, Desa Tanjung Pasir, wilayah pesisir yang menjadi cermin kepedihan ekologi Indragiri Hilir.

“Saya dan kawan-kawan pernah menyaksikan langsung pahitnya kehidupan di pesisir. Seorang petani berjalan kaki berjam-jam menyusuri rawa dan lumpur hanya untuk mencari ikan demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena kebun kelapa yang selama ini menjadi tumpuan hidup telah mati,” tuturnya.

Ia juga menceritakan tangisan tanpa air mata dari anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah karena orang tuanya tak lagi mampu membiayai pendidikan. Lebih memilukan lagi, ada warga yang tak sempat mendapat perawatan medis karena terbatasnya ekonomi dan sulitnya akses menuju fasilitas kesehatan, hingga akhirnya meninggal dunia.

“Saya tak mampu menahan air mata setiap kali mengingatnya. Karena itulah, saya dan rekan-rekan terus berjuang, mengajak adik-adik mahasiswa untuk turun ke lapangan, menyuarakan keadilan ekologis, dan bersama-sama menawarkan solusi hijau demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat pesisir Indragiri Hilir.” ucapnya dengan nada bergetar.

Kearifan Lokal: Suara dari Suku Duanu

Dalam kesempatan itu, Zainal juga mengingatkan bahwa Indragiri Hilir tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang luar biasa. Salah satunya berasal dari Suku Duanu, masyarakat pesisir yang sejak lama hidup berdampingan dengan laut dan hutan bakau.

“Suku Duanu memaknai alam sebagai rumahnya, mereka punya ungkapan bijak yang berbunyi: ‘Hoyyu Barau Buat Bertedoh, Usah Ditebang Bia Nyu Tumboh’ — artinya, ‘Hutan bakau untuk berteduh, jangan ditebang, biarkan ia tumbuh.” 

Ungkapan sederhana itu, lanjutnya, sesungguhnya merupakan filosofi ekologis yang luhur. Suku Duanu telah memahami konsep keberlanjutan jauh sebelum istilah sustainable development dikenal di ruang akademik. Bagi mereka, menjaga hutan bakau bukan semata untuk ekonomi, tetapi sebagai bagian dari identitas dan kelangsungan hidup bersama.

 “Kearifan lokal seperti ini mestinya menjadi fondasi kebijakan pembangunan kita, Bukan digantikan oleh proyek-proyek yang merusak keseimbangan antara manusia dan alamnya". tegas Zainal

Dalam paparannya, Zainal menyinggung makna pembangunan berkelanjutan yang sejati. Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh berhenti pada beton dan cerucuk di kota, sementara pesisir dibiarkan tenggelam.

 “Kita sibuk menanam cerucuk di kota, tapi di pesisir anak-anak kehilangan pijakan hidup. Kita bicara membangun masa depan, sementara generasinya tidak terbangun,” tegasnya dengan suara lantang.

Menurut Zainal, keberlanjutan bukan hanya tentang lingkungan yang hijau, tetapi tentang manusia yang tumbuh bersama alamnya. Jika pembangunan hanya berorientasi pada infrastruktur dan investasi tanpa memperhatikan keseimbangan sosial, maka yang terjadi hanyalah ketimpangan dan kemiskinan baru.

“Pembangunan sejati adalah ketika ilmu pengetahuan menyentuh lumpur, bukan hanya papan tulis. Ketika teknologi berdiri di atas kemanusiaan, bukan sebaliknya,” ucapnya penuh makna.

Zainal menutup dengan pesan yang menggugah:

“Transformasi hijau bukan proyek, tapi perjalanan spiritual. Jika hari ini kita gagal menjaganya, maka yang hilang bukan hanya hutan, tapi juga masa depan.”

Pemaparan Zainal menjadi titik emosional dalam Dialog Kebangsaan hari itu. Ia tidak sekadar berbicara tentang teori pembangunan berkelanjutan, tetapi menghadirkan wajah manusia di balik kebijakan yang sering kali tak berpihak. Suaranya mewakili mereka yang hidup di lumpur pesisir, mereka yang tak pernah ikut dalam rapat pembangunan, tetapi menanggung akibatnya setiap hari.

 

Berita Lainnya

Index