SERUMPUN.ID - Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, menyampaikan capaian 299 hari kerja Kabinet Merah Putih—mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, Koperasi Desa Merah Putih, hingga pembentukan Danantara. Beliau juga menegaskan komitmen memberantas perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan lindung dan tambang ilegal, serta mengingatkan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (1)–(4), bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, refleksi di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) memberi gambaran yang kontras. Delapan puluh tahun merdeka, masih banyak rakyat yang kelaparan di atas tanahnya sendiri. Kasus penyerobotan lahan, kerusakan kebun, dan lemahnya perlindungan pemerintah terhadap hak rakyat masih terus terjadi.
Di Kecamatan Enok, misalnya, perkebunan kelapa masyarakat rusak akibat hama kumbang yang muncul setelah pembukaan lahan oleh PT Pelita Wijaya Perkasa (PWP), yang juga diduga menggarap lahan melebihi izin. Meski telah dilakukan audiensi dengan perusahaan, bahkan bersama Bupati, ganti rugi baru diberikan kepada sebagian kecil masyarakat. Sisanya masih menunggu tanpa kepastian. Setelah HMI dan BEM Universitas Islam Indragiri (Unisi) melakukan aksi turun ke jalan, Bupati kembali berjanji menyelesaikan persoalan ini, namun hingga kini, kejelasan itu belum juga hadir.
Kondisi ini bukan sekadar hitungan materi. Karena kebun kelapa mereka rusak, ada warga yang anaknya terpaksa putus sekolah dan kuliah. Ironis, di negeri yang digadang-gadang sebagai “Hamparan Kelapa Dunia,” pendidikan anak-anaknya justru terhenti akibat kelalaian dan arogansi perusahaan.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Masih banyak perusahaan lain di Inhil yang berperilaku serupa, meremehkan dialog, mengulur tanggung jawab, dan memposisikan diri seolah di atas hukum.
Bila kita menengok data, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Inhil pada 2024 masih di kisaran 7,5% atau sekitar 54 ribu jiwa. Pada sektor pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi hanya 18,7%, di bawah rata-rata Provinsi Riau. Artinya, masih banyak anak muda yang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi, salah satunya karena faktor ekonomi dan kerusakan sumber penghasilan utama keluarga seperti kasus di Enok.
Lingkungan pun tak kalah memprihatinkan. Perlindungan terhadap hutan mangrove yang seharusnya menjadi benteng alami pesisir masih lemah. Di Kuala Selat, penebangan mangrove secara ilegal terus terjadi. Dampaknya jelas: intrusi air laut merusak kebun kelapa dan mengancam pemukiman. Padahal, berdasarkan kajian KLHK, 1 hektare mangrove dapat menyerap 200–300 ton karbon, dan kerusakannya berarti memperparah krisis iklim sekaligus menghilangkan mata pencaharian nelayan dan petani kelapa.
Tak hanya itu, aspek kebudayaan juga perlu mendapat perhatian. Di pesisir Inhil, suku Duanu, Melayu asli yang hidup di laut dan pesisir, masih menghadapi keterbelakangan. Mereka kaya akan kearifan tradisi, namun sering terpinggirkan dari arus pembangunan. Padahal, kebudayaan bukan hanya soal warisan leluhur, melainkan jati diri yang harus dijaga di tengah derasnya globalisasi. Memberdayakan suku Duanu berarti menjaga akar budaya kita sendiri agar tidak tercerabut oleh modernitas yang serba instan.
Melihat kenyataan ini, kita perlu jujur bahwa persoalan Inhil hari ini bukan hanya soal teknis ganti rugi atau konflik lahan semata. Ini soal kehadiran negara dalam menjamin keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan hidup rakyat. Kemerdekaan sejati bukanlah sekadar simbol bendera berkibar, melainkan hadirnya rasa adil, sejahtera, dan bermartabat di tengah masyarakat.
Sebagai anak bangsa dari pesisir Indragiri, saya ingin mengajak kita semua merenung: kemerdekaan sejati harus dimulai dari hati, merdeka sejak hati. Hanya dengan itu, rakyat Inhil bisa bangkit dari keterbelakangan, menjaga alamnya, merawat budayanya, dan menjemput masa depan yang lebih bermartabat.
Muhammad Yusuf: Ketua Umum HMI Cabang Tembilahan